Potret Perempuan dalam Media

Pelatihan kode etik jurnalistik di Makassar. Foto: Taya

DALAM tatanan kehidupan sosial masyarakat kita sekarang perempuan kerap diasumsikan sebagai kelompok gender yang lemah, bukan hanya secara fisik tetapi juga secara psikologis, mental dan spiritual. 


Menurut Zulkarnaini Abdullah perempuan adalah makhluk yang lembut dan penuh perasaan, berbeda dengan laki-laki yang berwatak keras dan berfikir lebih rasional. Laki-laki pantang menangis, tetapi bagi perempuan tangisan justru menjadi senjata yang paling ampuh.  Karena itu muncullah anggapan bahwa watak dasar perempuan seperti itulah yang menyebabkan harus tunduk kepada laki-laki. Laki-laki adalah pelindung dan pembimbingnya.



Perempuan tidak lepas dari keberadaannya dalam media. Potret diri perempuan dalam media massa baik cetak, elektronik dan online masih memperlihatkan stereotip yang merugikan. Menurut Webster’s Ninth New Collegiate Distionary (terbitan tahun 1984) yang dikutib dalam jurnal perempuan no. 48 bahwa “Stereotip” adalah gambaran mental yang distandarisasikan dan diterima sebagai sesuatu yang wajar dan kemudian direpresentasikan dalam pendapat yang sangat menyederhanakan atau penilaian yang tidak kritis. Stereotip atau pelabelan terbentuk secara evolutif dalam masyarakat sejalan dengan perkembangan intuisi atau tradisi yang dibuat masyarakat. Intuisi atau tradisi-tradisi tersebut umumnya diawali oleh keyakinan-keyakinan tertentu atau kebiasaan-kebiasaan yang kemudian dikuatkan menjadi kepercayaan (Zulkarnaini Abdullah; 2003). Peran dan kedudukan perempuan di masyarakat yang digambarkan media massa yang ada saat ini tersembunyi dalam tugas rumah tangga dan 3M-nya yakni masak (memasak), macak (bersolek), dan manak (melahirkan anak). (www.anggerwijirahayu.blogspot.com).

Sosok perempuan senantiasa dihadirkan sebagai obyek oleh media. Perempuan dijadikan komoditas media yang berdiri basis idiologi di balik proses representasinya. Konstruksi sosial dan kebudayaan mengkristal menjadi sebuah idiologi yang bias gender dan memposisikan perempuan subordinate di bawah laki-laki.

Balutan Idiologi kapitalis, budaya patriarkhi akhirnya tidak lepas dari diri penulis (wartawan) dan redaksi media dengan kemampuan agenda medianya untuk berandil besar dalam mensosialisasikan dan sekaligus memperteguh persoalan ketidakadilan gender yang terjadi selama ini. Dan bias gender ini akan semakin nampak manakala media melakukan representasi ini melalui teks-teks yang dikandungnya. Serangkaian penelitian yang terkait dengan persoalan kesetaraan peran, fungsi, dan kedudukan perempuan dalam format sosial dan kebudayaan mewarnai sekian banyak kajian penelitian sosial saat ini.

Menurut Hermes berpendapat bahwa kita perlu memahami bagaimana media menampilkan gender karena konstruksi feminitas dan maskulinitas merupakan bagian dari ideologi dominan, seperti representase wanita di media direndahkan, stereotipe dan sosialisasi peranan sosial yang masih menjadi ciri konten media (Denis McQuail:132).

Antropolog Kartini Syahrir mengatakan bahwa perempuan menjadi perbincangan, karena ia di samping menjadi subyek juga menjadi obyek, di lain pihak, karena wujud fisik yang dimilikinya menjadi “sasaran tembak” dari anggota masyarakat di mana ia berada. Dalam perannya sebagai obyek ini, perempuan dilihat sebagai makhluk yang memiliki keterbatasan gerak dan dia berfungsi tak lebih dari sekedar pemenuh kebutuhan ekonomi, sosial, dan rohani dari anggota masyarakat. Pemikir Perancis, Beauvoir mengatakan, dalam masyarakat perempuan senantiasa digambarkan berada dalam kehidupan yang serba kepasifan, sehingga sub-ordinasi perempuan terhadap pria pun dianggap sebagai sesuatu yang alamiah. Di dunia jurnalistik, kondisi ini sedikit banyak terpantul, karena perempuan lebih banyak terlibat dalam fungsinya sebagai cover dan model majalah atau sumber untuk diberitakan atau “digosipkan” daripada sebagai penuang gagasan.

0 komentar:

Posting Komentar