Jurnalisme dan Konglomerasi

Oleh: La Taya (Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP_UNHALU)


Perkembangan konglomerasi media menawarkan ancaman dan peluang. Ancamannya adalah makin dominannya pemilik media dalam redaksi media massa, yang berpotensi mengakibatkan akurasi dan kredibilitas produk informasi media itu dipertanyakan publik. 


Sementara peluangnya adalah makin tingginya kesadaran pekerja media untuk berserikat.

Sebagai contoh di Indonesia, MNC memiliki beberapa anak perusahaan, yaitu Koran Sindo, RCTI, TPI,dan Global TV.


Setiap di visi dari MNC tersebut memiliki peran, karakter dan audiensnya masing-masing, tetapi memiliki satu tujuan yang sama mendapatkan keuntungan finansial bagi perusahaan induknya yang tentu saja hanya dimiliki oleh beberapa orang semata. Ini sesuai dengan pendapat O’Sullivan yang menyatakan bahwa, pencarian keuntungan profit adalah yang melandasi apapun yang diproduksi oleh media,yang pertama mendapatkan surplus dari pencapaian ekonomisnya, kedua adalah ideologi yang di gunakannya mensupport kapitalism media. 

Perkembangannya memang menunjukkan bahwa konglomerasi media menjadi tidak tertahankan karena tidak adanya kekuatan lain yang bisa menyeimbangkan nafsu kuasa (ekonomi dan politik) dari para pemilik media tersebut untuk hadirnya media yang lebih independen, menghasilkan produk yang membela kepentingan publik, dan tidak jatuh pada jebakan sensasionalisme, dan komersialisme yang membabibuta.

Tindakan seperti ini adalah tindakan yang tidak demokratis, dimana sebuah kekuasaan berjalan, tanpa ada pihak yang bisa melakukan check and balances. Apakah itu serikat kerja, Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia, Departemen Informasi dan Komunikasi, tekanan publik dan lain-lain. Hati-hati, saya tidak hendak mengatakan untuk kembalinya kekuatan otoriter negara mengendalikan semua operasi media ini. Tidak. Tetapi saya lebih berharap pada kondisi adanya suatu check and balances yang merupakan proses pertukaran gagasan yang berbasis pada argumen.

Sejelek apapun program infotainment yang ada, yang bisa kita lakukan hanyalah meledeknya, menghinanya, mengritiknya, tapi tak perlu sampai harus mematikannya. Senorak apapun tayangan televisi yang membabibuta membela kepentingan tertentu, yang bisa kita lakukan hanyalah mengritik, menyadarkan publik untuk tidak nonton televisi semacam itu, tapi tak perlu sampai pengelola stasiun tersebut kehilangan ijin siaran. Saya percaya proses seperti ini jauh lebih beradab daripada buru-buru menghilangkan, melenyapkan, atau menutup. Kalau ini yang terjadi, apa bedanya dengan jaman orde baru?

Kekuasaan modal memang hal yang tak tertahankan, tapi ini bukan artinya tak bisa ditandingi, tak bisa disiasati.

Kekuasaan modal yang mencengkeram media yang independen memang menghasilkan sejumlah akibat yang luar biasa dalam bentuk:
  1. Media menjadi corong kepentingan politik atau bisnis semata (lalu apakah kita masih sebut ini sebagai media massa, atau sarana public relations?
  2. Media mudah diintervensi untuk item-item pemberitaan yang dianggap tabu oleh pemilik atau grup media tersebut
  3. Media menjadi bias dalam menyajikan informasi kepada publik, lebih jauh media kerap kali jadi berbohong kepada publik
  4. Sinergi, efisiensi, konvergensi, adalah kata-kata kunci yang biasanya datang dari pihak manajemen media. Dalam bahasa terangnya ia berarti pemutusan hubungan kerja sepihak, wartawan bekerja lebih banyak dengan upah yang sebisa mungkin ditekan, soal kualitas informasi, maaf itu bukan bahasannya
  5. Ideologi kecepatan penyampaian informasi (tapi belum tentu akurat, belum tentu cover both sides, belum tentu ada verifikasi) adalah 'dewa' atau ukuran terpenting pada masa sekarang. Kedalaman informasi, konteks suatu peristiwa, pemaknaan yang bisa dilakukan, atau juga banjir informasi adalah hal-hal yang sementara dilupakan dulu.
  6. Konflik, sensasionalisme, komersialisme adalah hal2 yang jadi keutamaan (virtue) pada industri media sekarang ini.
  7. Berbaurnya antara batas fungsi informasi dan fungsi hiburan dari media massa

Ada banyak fenomena yang terkait dengan masalah ketenagakerjaan belakangan ini:
  • Fenomena media franchise yang semakin sedikit mempekerjakan para wartawan, tetapi lebih pada penerjemah, mengambil penulis lepas, dan hanya mempekerjakan 1-2 orang editor senior saja.
  • Fenomena di mana media-media yang mencoba untuk tampil global dengan mempekerjakan pekerja asing dan pekerja local. Ada jarak yang sungguh jauh antara pendapatan dan fasilitas yang dimiliki oleh dua kelompok pekerja ini
  • Era multimedia dimana wartawan dituntut untuk tidak hanya bekerja dalam satu moda industri (misalnya media cetak saja) tetapi juga untuk moda yang lain (online, televisi, atau radio). Para pengusaha menyebutnya ini sebagai `konvergensi' , atau `sinergi', tetapi di sisi pekerja ini artinya harus menyampaikan berita dengan macam-macam format, namun dari sisi kesejahteraan, tak banyak yang berubah
  • Pertumbuhan industri media yang tidak sehat, dengan mengandalkan para kontributor lepas yang bisa merekrut kontributor lainnya, menghasilkan hubungan ketenagakerjaan yang tidak jelas, dan dari sisi isi berita, akan cukup menyulitkan jika ada pelacakan yang terkait dengan pelanggaran kode etik jurnalistik.
  • Pada lain sisi, industri media memberangus sejumlah serikat kerja yang ada, mengucilkan para aktivisnya, mem-PHK pengurusnya.

Potret dari industri media sekarang dan para pemiliknya tergambarkan seperti ini karena ada soal teknis.

Data menunjukkan kelembagaan media yang memiliki serikat pekerja. "Dari sekitar 2.000 stasiun radio, 1.008 media cetak, 115 stasiun teve, dan belasan media online yang ada di Indonesia, cuma 25 perusahaan saja yang memiliki serikat atau embrio serikat.”

Lalu dari sisi penamaan lembaga serikat kerja ini saja, sudah menunjukkan hal lain yang juga menarik: "Untuk menghidari kecurigaan dan represivitas dari manajemen, biasanya para aktivis serikat pekerja media mencoba untuk menyamarkan nama organisasinya dengan nama yang lebih "bersahabat" . Para pekerja Tempo, misalnya, memilih nama Dewan Karyawan Tempo (DeKaT), pekerja di Kompas menggunakan nama Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK), buruh Indosiar memakai nama Serikat Karyawan (Sekar) Indosiar, pekerja majalah Swa memakai nama Forum Karyawan Swa (FKS), pekerja Hukumonline. com memilih nama WorkerHOLic, pekerja di Solo Pos menggunakan label Ikatan Karyawan Solo Pos (Ikaso), atau pekerja Bisnis Indonesia memakai nama Kerukunan Warga Karyawan Bisnis Indonesia."

Betapa mindernya organisasi serikat kerja industri media dibandingkan dengan jumlah industri media yang ada saat ini. Industri media berkembang pesat, tapi apakah ini artinya bahwa pekerja juga merasakan kesejahteraan yang meningkat dari perkembangan tersebut?

Juga kita bisa melihat betapa mindernya organisasi serikat kerja industri media dibandingkan dengan para organisasi serikat kerja di bidang manufaktur. Ada puluhan organisasi serikat kerja yang telah ada (dari yang punya visi misi jelas, hingga yang model abal-abal, dan kemarin ditarik sana-sini oleh berbagai partai politik).

Yang menjadi agenda kita menurut saya seharusnya adalah: bagaimana para pekerja media berhadapan dan menyodorkan agenda kepara para pemilik industri media ini, lalu bagaimana pula serikat kerja seperti ini mampu membuat ada independensi redaksi dari intervensi macam-macam kepentingan (terutama dari pihak pemilik dan para kongsinya).

Di luar bicara pengawasan kerja jurnalistik, dari sisi etik dan hukum, saya merasa bahwa serikat pekerja bisa memiliki kontribusi untuk mempertahankan nilai-nilai jurnalistik yang independen, menuju ruang redaksi yang makin berkualitas, dan tetap diingatkan pada focus pada kepentingan publiklah yang harus didahulukan, lebih daripada mendahulukan kepentingan grup media (dan grup saudara-saudaranya) .

Telah lama induk AJI, yaitu IFJ menekankan bahwa ruang redaksi yang independent, keprofesionalan wartawan, adalah kunci untuk menjadi jurnalis masa kini, dan untuk itu dimensi ketenagakerjaan dari industri ini, sebenarnya bisa menyumbang pada misi tersebut.

Jadi perjuangan industri media bukan semata pada gaji yang lebih baik, fasilitas yang lebih memadai, tetapi juga ruang redaksi yang independent, investasi lebih besar pada liputan berkualitas, pembentukan divisi yang memperkokoh nilai jurnalisme (bukan nilai jual dari industri media, alias berjualan produk konsumen via media yang terakses luas), dan pencapaian keutamaan lainnya.

Memang tak bisa dihindari gelombang komersialisasi yang merambah secara masif tak hanya di level nasional, tapi juga di level internasional. Betulkah kita sungguh-sungguh tak berdaya menghadapi kekuatan capital ini? Kalau pun bisa dilawan, dengan cara seperti apa kita melawannya? Bagaimana tingkat ketergantungan dari redaksi terhadap intervensi-interven si dari luar?

Perilaku pemilik media memang bisa dibilang hampir rata: anti union. Mereka merasa resah jika para pekerja mempersatukan diri, membela kepentingan mereka, dan mencoba jalan bernegosiasi untuk memperjuangkan kepentingan. Belum apa-apa para aktivis union akan kena stigma (seperti yang pernah saya alami juga dulu ketika menjadi ketua Dewan Karyawan di Majalah Forum Keadilan), disingkirkan perlahan-lahan, dan pelbagai alasan dibuat untuk meminggirkan.

Mereka banyak berpikir media adalah alat akumulasi modal, yang kebetulan bernama koran, majalah, televisi, online. Kalau pun ada yang berpikir beda, itu pengecualian yang sangat jarang. Kalau sudah begini cara pikirnya, bagaimana mau meyakinkan para pimpinan media bahwa media punya obligasi moral sebagai pengartikulasi kepentingan publik (mereka membacanya: pasar), dan karena obligasi moral inilah maka jurnalis datang ke tempat dimana orang-orang biasa tidak datang (bencana, tragedi, tempat konflik, dan lain-lain), dan atas nama obligasi seperti itu.

Untuk itu harus diniatkan untuk menghasilkan serikat kerja yang lebih banyak, terutama pada media yang strategis, dan mengalami tingkat intervensi tinggi dari pemiliknya.
       

0 komentar:

Posting Komentar