Jurnalisme Independen Vs Jurnalisme Partisipan

Oleh: La Taya (Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP_UNHALU)


Jurnalisme Independen adalah kegiatan jurnalisme yang dalam proses peliputan dan penulisan beritanya tidak melakukan keberpihakan kepada kelompok atau golongan tertentu. 

 

Pemberitaan media cenderung (cover both side) dua sisi dan mengakomodir pernyataan kedua kelompok yang berbeda. Sehingga masyarakat mendapat informasi yang benar dan tidak diarahkan untuk membentuk sentimen tertentu dan sangat menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia dan Kode Etik Jurnalistik Versi Aliansi Jurnalistik Idependen (AJI).


Bill Kovach, yang bersama Tom Rosenstiel mengarang buku Sembilan Elemen Jurnalisme, menegaskan bahwa netralitas bukan merupakan bagian dari prinsip jurnalisme. Menurutnya, jika seorang wartawan harus selalu memegang posisi netral dalam menilai suatu fenomena, maka “kolumnis dan redaktur editorial harus digusur dari profesinya”. Tentu, dalam menyampaikan opininya, seorang kolumnis atau penulis dalam rubrik opini memiliki kebebasan dalam menyampaikan pendapatnya.

Di sini mereka justru dituntut untuk independen, lepas dari segala tekanan, dalam menyuarakan apa yang mereka anggap benar. Begitu pula dengan profesi wartawan. Oleh karena itu organisasi wartawan AJI memilih kata independen sebagai nama organisasinya, bukan Aliansi Jurnalis Netral, misalnya. Independensi pers adalah sebuah keniscayaan. Karena dengan begitu, mereka bebas mengikuti keyakinannya dalam membuat keputusan, berita apa yang akan diturunkan pada hari itu.

Bias dalam pemberitaan di sebuah media yang berpihak juga dikhawatirkan akan mengaburkan esensi dari sebuah permasalahan yang sebenarnya dan secara sadar bergesernya pada pseudo – realitas lain, yang lalu di blow up. Praktek menset agenda semacam ini sangat mudah dan juga lazim dalam dunia media. Ini adalah juga bagian dari strategi yang dijalankan oleh tim sukses masing – masing kandidat yang berkolaborasi dengan media partisan tersebut. Karena itu pula negatif diperbolehkan dalam praktek jurnalisme selama tidak ada kode etik yang dilanggar dan informasi yang disampaikan berdasarkan fakta, akurat, benar, dan tidak mengandung fitnah, singkatnya, tidak ada manipulasi informasi. salah satu tugas jurnalis adalah untuk menyampaikan kebenaran, walaupun kebenaran itu kadang – kadang pahit.

Jadi untuk menjamin tersedianya informasi yang berimbang, maka sebuah media harus mampu menampilkan ragam pendapat yang ada di masyarakat dalam pemberitaannya. Idealnya adalah, media tersebut harus memberikan porsi liputan yang ber sifat seimbang untuk semua kandidat peserta pemilu. Sehingga seorang pembaca koran atau media cetak sehingga dan pemirsa televisi mendapatkan informasi yang akurat, lengkap tentang kandidat yang akan hadir di media tersebut.

Namun hal ini tidak berlaku untuk media Partisan yang tidak netral, di mana porsi pemberitaan yang lebih banyak biasanya diberikan kepada satu kandidat tertent.

Jurnalisme partisan dalam praktiknya atau pemberitaannya mengedepankan kepentingan kelompok yang dibelanya, tanpa dilandasi konsep kerja jurnalistik atau kode etik jurnalistik berdasarkan fakta dan makna. Dalam jurnalisme partisan, sedikit mengedepankan kelompok atau partai yang di dukungnya dan kesalahan kelompok yang tidak sepaham akan diberitakan dengan bombastis atau tidak berimbang. Dan kesalahan besar pada kelompoknya akan ditutup – tutupi. Sehingga memunculkan sentimen tertentu yang bisa memicu konflik.

Ada dua peran yang di mainkan oleh media yaitu (a). Media adalah sumber dari kekuasaan hegemonik, di mana kesadaran khalayak dikuasai. (b). Media juga bisa jadi sumber legitimasi, di mana lewat media mereka berkuasa dapat memupuk kekuasaannya agar tampak absah dan benar di mata pembaca dan pemirsa.

Keberadaaan media partisan selalu dikaitkan dengan independensi media dan pemberitaan yang berimbang. Ketika Jurnal Nasional (Jurnas) menyatakan bahwa mereka merupakan media pendukung Partai Demokrat dan Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono (SBY), mungkin banyak yang memandang sinis. Tuduhan bahwa liputan – liputan yang mereka turunkan mengandung bias kepentingan. Sejalan dengan itu, bagaimana menjamin agar publik tetap menikmati sajian informasi yang berimbang, yang mewakili berbagai pendapat yang ada di masyarakat?

Jurnalisme partisan, adalah pemberitaan yang bombastis dan vulgar di satu sisi, serta keberpihakan kepada kelompok tertentu disatu sisi justru menciptakan kondisi yang tidak kondusif bagi penyelesaian masalah. Dan sering kali  khalayak luas, memahaminya sebagai pemberitaan yang kebenaran. Mengenai pers Partisan ini,

Hutabarat (Kippas, 2003) mengemukakan Era Reformasi melahirkan sekurang – kurangnya dua perubahan penting, yaitu kebebasan berpar¬tai politik dan kebebasan pers. Dan kedua kebebasan tersebut adalah Anak kandung dari kedua kebebasan pers partisan. Jadi partai boleh berdiri dan partai boleh menerbitkan pers.

Fenomena keberpihakan Jurnas pada Partai Demokrat dan SBY tidak terjadi baru – baru ini saja. Kita mengenal misalnya harian Suara Karya yang pada masa Orde Baru sangat pro Golkar. Di era Reformasi, sempat muncul Amanat yang mengawal PAN dan Duta Bangsa yang merupakan corong PKB. Dalam iklim demokrasi, keberadaan media partisan sah – sah saja. Bahkan di Amerika Serikat sekalipun, pernyataan sebuah media yang pro pada salah satu partai tertentu justru lebih terang-terangan lagi. Sudah bukan rahasia lagi, jika FOX News adalah stasiun televisi yang mendukung kebijakan – kebijakan Partai Republik. Begitu pula dengan The Washington Times. Sementara The New York Times dan mayoritas media massa lainnya berhaluan liberal.

Umumnya ada empat bentuk keberpihakan yang mungkin dilakukan oleh pers ketika memberitakan Pemilu 2004 yakni : (1). Visi dan Misi, kebijakan redaksional akan menjadi cetak biru ideologi partai yang didukungnya.(2). Pilihan Fakta, sosial sebagai bahan pemberitaan akan bertumpu pada fakta yang dianggap menguntungkan media atau pers.(3). Dalam memilih dan menonjolkan narasumber berita, pers akan melakukan proses seleksi sehingga narasumber berita yang mendukung orientasi politik media bersangkutanlah yang akan dipilih. (4). Pilihan angle, yaitu pihak yang dibela selalu menjadi subjek, sementara lawan politiknya sekadar sebagai pelengkap pemberitaan.

Cara untuk mengidentifikasi keberpihakan media terhadap suatu partai atau kelompok. adalah dengan menghitung frekuensi pemberitaan sebuah parpol. Seberapa besar dan kesering parpol tersebut diberitakan oleh media tersebut, dan seberapa banyak kemunculan parpol lain. Indikator kemunculan kemudian dihubungkan dengan figur atau pemilik surat kabar bersangkutan. Misalnya meneliti sejauhmana ada indikasi kepentingan pemilik atau anggota keluarga pemilik surat kabar terhadap parpol bersangkutan.

0 komentar:

Posting Komentar