Cyber Jurnalisme

Oleh: La Taya (Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP_Unhalu


Cyber jurnalisme merupakan wujud dari kebebasan pers yang diberikan dan dilindungi oleh pemerintah. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers pasal 4 bahwa pemerintah menjamin tidak akan ada pembredelan media massa. Bagi sebagian orang, jurnalisme lewat internet lebih menjamin kebebasan pers.




Jurnalistik online (online journalism, cyber journalism) didefinisikan sebagai pelaporan peristiwa yang diproduksi dan disebarkan melalui internet atau proses jurnalistik yang hasilnya disajikan melalui media internet (cybermedia).

Teknik penulisannya sama dengan jurnalistik cetak, yakni menggunakan tulisan (bahasa tulis), namun penulisannya lebih leluasa dan bisa jauh lebih lengkap dibandingkan naskah untuk media cetak atau elektronik. Umumnya media cetak, radio, dan televisi juga menyediakan media online.

Jurnalistik media online dapat hadir secara individual, bukan lembaga, dengan hadirnya blog atau weblog. Pemilik blog tidak hanya dapat menuliskan opini atau pengalalaman pribadi (diary), tapi juga mempublikasikan berita, artikel, dan feature layaknya media komersial.

Kemunculan media online ini, termasuk weblog, dapat menumbuhsuburkan lahirnya “Indy Media” atau media independen, bahkan maraknya “underground media”, sekaligus mengimbangi “mainstream media”.

Direktur Kompas Cyber Media (KCM) Ninok Leksono menyebutkan, kehadiran media online ini jelas telah mengubah paradigma baru pemberitaan, yakni event on the making. Maksudnya, berita yang muncul tidak disiarkan beberapa menit, jam, hari, atau minggu, tetapi begitu terjadi langsung di-upload (dimasukkan) ke dalam situs web media online. Itulah keunggulan media online yang serba cepat.    
                  
Melihat fenomena perkembangan jurnlisme online ini, Tigin Ginular, wartawan Sindo Jabar, menegaskan media cetak tidak perlu khawatir dengan maraknya media online saat ini, masih banyak masyarakat indonesia yang lebih memilih mendapatkan berita lewat media cetak atau elekronik. Hal ini disebabkan masyarakat Indonesia belum banyak yang bisa mengakses internet secara personal. Belum semua daerah di Indonesia bisa mengakses internet secara langsung.            

Memang ada data yang menyebutkan bahwa media cetak terutama surat kabar menurun dari semula 5,1 juta eksemplar pada tahun 1997 menjadi 4,7 juta eksemplar pada saat ini. Data ini juga disepakati oleh Aripin Asydhad, wakil pimpinan redaksi detik.com  dan menambahkan bahwa sekarang ini dunia pemberitaan mengistilahkan ”yang cepat mengalahkan yang lambat. Dan bukan yang besar mengalahkan yang kecil” dalam artian berita yang cepat sampai kepada khalayak itulah yang banyak diminati.           

Faktor lain yang membuat media cetak tidak kehilangan pamor, yakni tidak semua orang di dunia, khususnya di Indonesia tidak memiliki skill dan pengetahuan yang cukup untuk mengakses sebuah media online. Mereka harus memiliki kemampuan dalam pengoperasian komputer dan juga pengetahuan tambahan mengenai vara pengaksesan website-sebsite di Internet. Ditambah lagi dengan semangat belajar orang-orang yang bisa dibilang kurang sehingga membuat mereka lebih memilih untuk membaca atau mencari informasi yang sudah tersedia di depan mata dan lebih mudah di dapat, yakni media cetak.           
Namun saya menegaskan  bahwa masyarakat Indonesia saat ini merupakan masyarakat informasi yang menghabiskan sebagian besar waktunya dengan media komunikasi dan menggunakan teknologi informasi seperti telepon dan komputer. Masyarakat Informasi yang berbasis data digital pada gilirannya akan mudah melakukan pertukaran data informasi karena saat ini, untuk berhubungan tidak diperlukan lagi saluran yang berbeda-beda untuk berkomunikasi, sepanjang data atau informasi sudah berbentuk digital, maka dia dapat dibaca dalam bentuk surat kabar, online media, radio streaming, televisi digital, sampai video streaming di handphone-handphone.           

Menurut saya juga konvergensi media tidak hanya mengubah basis data, dan medium yang menyalurkannya. Namun, secara keseluruhan juga mengubah proses produksi, pengolahan, dan distribusi informasi, sehingga media-media seperti koran, radio, televisi dan lain-lain akan berubah dengan bentuk-bentuk media baru yang sepenuhnya digital, seperti televisi, World Wide Web dan internet.

Lantas bagaimana tren perubahan media dalam masyarakat informasi? Jelasnya lagi, konvergensi komputer, telekomunikasi, dan sistem media massa konvensional membawa berbagai perubahan fundamental dalam fungsi media. Sumber media massa menjadi semakin banyak dan less authoritative and less profesional. Kemampuan media massa untuk bertindak sebagai gatekeeper akan menghilang.          

Pesan menjadi serba customize, disesuaikan dengan segmen khalayak yang semakin kecil dan semakin terspesialisasi. Terkadang menggunakan alamat pribadi, maupun malayani masyarakat yang heterogen, tidak lagi homogen. Kemajuan teknologi memunculkan masyarakat prosumen—masyarakat produsen dan kensumen—maka lokus produksi yang dipegang media, kini berpindah ketangan konsumen. Contohnya, citizen journalism yang sekarang sedang marak dimana-mana. Pewarta Warga (citizen journalism) adalah mereka yang memiliki hobi menulis, seperti para blogger, anggota milis, kontributor freelance media online, pemberi komentar pada berbagai artikel, dan lain-lain. Mereka menulis tidak untuk media massa mainstream melainkan hanya untuk berbagi informasi dan idealisme di antara sesama pembaca, antar warga masyarakat.

Media sebagai pabrik informasi tidak hanya bersaing dengan sesama produsen, tetapi juga harus berkompetisi dalam pasar dengan khalayak alias konsumennya sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar