Andi Abdul Muis (1929-2005)
Pejuang Kebebasan Pers

Pakar ilmu komunikasi dan pejuang kebebasan pers Prof Dr Andi Abdul Muis wafat dalam usia 75 tahun hari Sabtu 6 Agustus 2005 pukul 22.15 Wita. Guru Besar Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Hasanuddin, kelahiran Pulau Kalukuang, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, 4 Desember 1929, itu meninggalkan putri tunggalnya Andi Dian Indria Sukmawaty dan empat cucu.

Salah seorang cucunya, Fauziah Astrid (22) sebagaimana dikutip Kompas (8/8/2005), menuturkan kakeknya sangat terpukul setelah istrinya, Yohana, meninggal dunia pada 31 Juli 2005 di Jakarta. Rabu malam 3/8/2005, Muis pingsan di kamarnya di Jalan Sunu, Perumahan Dosen Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, namun baru diketahui keluarganya Kamis pagi. Dia pun segera dirawat tiga hari di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Makassar, Sulawesi Selatan.

Jenazah Ketua Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Sahid, Jakarta, dan dosen luar biasa di berbagai universitas negeri dan swasta di Indonesia, itu dimakamkan di pemakaman keluarga di Desa Mandai di perbatasan Makassar dengan Kabupaten Maros.

Muis yang kerap menjadi saksi ahli dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan kebebasan pers, juga sering menulis masalah komunikasi, pers, hukum dan demokrasi di berbagai media. Dalam sepekan, ia menulis tiga sampai empat artikel, yang kemudian dikirimkan ke berbagai media massa, lokal maupun nasional.

Di telinga para eksponen Orde Baru, tulisan Ketua Dewan Etik Anti-Corruption Committee (ACC) Sulawesi Selatan itu kerap terasa pedas. Maka, tak mengherankan bila ia juga sering menerima "tekanan".

Setelah era reformasi, keadaan berubah, praktis tak ada lagi yang dapat menghambat kemerdekaan menulis. Namun Muis mengingatkan jangan sampai kebebasan itu disalahgunakan. Menurut Ketua Dewan Pengawas Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Wilayah Sulawesi Selatan itu, sebagaimana ditulis GATRA, Nomor 50/V, 30 Oktober 1999, kebebasan pers harus tetap tunduk di bawah hukum..

Andi Abdul Muis lahir di Pulau Kalukuang, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, 4 Desember 1929, sebagai anak bungsu dari dua bersaudara. Ayahnya, Andi Makkasau, seorang bangsawan Bone yang memimpin sebuah kerajaan kecil di Pannyilli, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Ibunya, Puang Niati, juga seorang bangsawan dari Kabupaten Maros. Suatu waktu ayahnya gerah dengan sistem kehidupan feodal, lalu menyerahkan tampuk kekuasaan kepada sepupunya, kemudian merantau mencari pengalaman ke berbagai daerah di Indonesia, walau akhirnya kembali lagi ke Makassar.

Muis menyelesaikan pendidikan dasar di Standard School, Makassar, pada 1937. Setelah itu ia masuk Sekolah Pelayaran Kaigun, yang dikelola Angkatan Laut Jepang. Ketika Sekutu melancarkan serangan ke pusat pertahanan Jepang di Makassar, sekolah Kaigun dipindahkan ke kota Pare-pare, 120 kilometer sebelah utara kota Makassar. Namun, proses belajar-mengajar tak juga berlangsung lancar akibat situasi yang juga tak menentu di Pare-pare. Akhirnya Muis kembali ke daerah nenek moyangnya, Bone.

Di tengah kesunyian Desa Pannyilli, Muis mulai menulis sajak-sajak perjuangan. Tapi, seperti diakuinya sendiri, kala itu syairnya belum menyentuh. Tak tahan dengan kesunyian, dan didorong semangat melanjutkan studi, Muis memutuskan kembali ke kota Makassar. Pada usia 16 tahun, saat menjadi murid SMU, Muis mulai menulis esai dan sajak di majalah Budaya yang terbit di Makassar.

Setamat SMA di Makssar, 1956, Muis melanjut ke Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (FH-IPK), Universitas Indonesia. Namun tidak sampai selesai karena kondisi keuangan yang tak memungkinkan. Terpaksa Muis muda harus mencari biaya hidup sendiri.

Bakat menulis yang dimilikinya mendorong Muis menjadi wartawan free-lance di berbagai media. Setiap hari ia harus mengayuh sepeda puluhan kilometer dari tempat tinggalnya di Kampung Sawah Besar, untuk mengantarkan tulisan ke berbagai media, seperti Sinar Harapan, Pemandangan, dan Abadi. Untuk setiap tulisan, ia mendapat imbalan Rp 100-Rp 250. "Ya... cukuplah untuk biaya makan di Jakarta," katanya kepada Gatra. Ketika itu, seporsi makanan sederhana berharga Rp 50.

Baru setahun di Jakarta, Muis kembali ke Makassar. Atas desakan rekan-rekannya, Muis bergabung dalam organisasi Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Organisasi ini sangat aktif mengkritik kegiatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan kebijakan pemerintah pusat yang sangat sentralistik. Di Permesta, Muis menjadi koordinator seksi publikasi.

Di luar kegiatan organisasi, Muis menjabat pemimpin redaksi harian Tindjauan, yang berubah nama menjadi Harian Bara (1956-1959). Muis tetap menyuarakan aspirasi politik dengan menyoroti ketimpangan pusat dan daerah. Tulisan itu terasa pedas bagi pemerintah. Karena itulah, pada 1958, pemerintah pusat membungkam Muis dalam Rumah Tahanan Militer (RTM) Makassar selama setahun.

Di dalam tahanan, ia membuka lembaga pendidikan pemberantasan buta huruf untuk orang-orang Darul Islam / Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang juga ditahan di RTM. Muis melihat kehidupan para narapidana politik itu amat memprihatinkan. Karena itu, bersama beberapa rekan, ia akhirnya melakukan kegiatan sosial mengumpulkan sumbangan dari luar, seperti baju dan makanan.

Ada pengalaman yang tak bisa dilupakannya. Suatu ketika, kepala RTM itu meminta Muis membuatkan kata sambutan untuk peringatan proklamasi. Muis pun menyanggupinya. Tapi kemudian Muis heran, kepala RTM cuma membacakan saja kata sambutan yang dibuatnya, tanpa koreksi sedikit pun. Padahal, isi sambutan itu penuh kritik terhadap pemerintah pusat. Belakangan baru dia tahu, ternyata Kepala RTM juga tak senang pada pemerintah pusat.

Keluar dari penjara, Muis melanjutkan studinya di Fakultas Hukum Bagian Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan, Jurusan Ilmu Publisistik, Universitas Hasanuddin. Pada 1965, Muis menyelesaikan studinya dengan tema skripsi hukum pers. Kemudian, ia menjadi staf pengajar Jurusan Ilmu Publisistik, yang kemudian masuk dalam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Unhas.

Kiprah Muis di dunia pers pun terus berlanjut. Tulisan-tulisannya yang pedas bagi pemerintah masih saja menghiasi media massa. Maka, tak mengherankan bila kemudian Muis mendapat pengawasan ekstra dari seorang kolonel. Semua gerakannya dikontrol. Tapi, situasi malah membawa berkah. Sebab, justru sang kolonel itulah Muis masuk dalam komunitas perfilman Indonesia.

Ia kemudian terpilih menjadi anggota Majelis Musyawarah Perfilman Indonesia. Karena kiprahnya ini, Muis memperoleh piagam penghargaan sebagai pelopor kemajuan perfilman, pada 1994. Toh, Muis tidak melupakan tekadnya menggapai gelar doktor. Sayangnya, pada saat itu belum ada wadah pendidikan tinggi ilmu komunikasi untuk promosi doktor.

Karena itu, Muis menempuh belajar nonformal dengan memanfaatkan keanggotaan Asian Mass Communication Research and Information Centre, yang bermarkas di Singapura. Selain itu, ia juga belajar jarak jauh dengan menjalin korespondensi dengan beberapa pakar komunikasi dan jurnalistik di mancanegara. Beberapa dosen jarak jauhnya adalah Prof. Lyle Webster (East West Centre Hawaii), Dr. Laura Olson, Judith Leyse (Washington University), Prof. Chu Cheng Hua (University of Taiwan), dan Barbara Sillars Harvey (Cornell University).

Pada 1982, Muis akhirnya meraih gelar doktor komunikasi di Universitas Hasanuddin, setelah mempertahankan disertasinya berjudul "Modernisasi Masyarakat di Dalam Hubungannya dengan Pengenalan Televisi, Suatu Studi Komunikasi Massa". Setahun kemudian, Muis diangkat sebagai guru besar Universitas Hasanuddin. Lembaga yang sama juga mendaulat Muis sebagai alumnus terbaik pada 1996.

Pada tahun yang sama pula Muis memperoleh penghargaan dari Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI), atas jasanya mengembangkan ilmu komunikasi. Muis mengaku, suksesnya itu tak lepas dari bantuan sang istri, Hajah Yohana. Secara berseloroh, Muis menganggap istrinya sebagai kepala administrasi.

Muis berkisah, pertama kali bertemu Yohana pada acara pertemuan mahasiswa Sulawesi Selatan di Jakarta, 1955. Sepulang mereka dari Jakarta, hubungan itu berlanjut serius. Dan tiga tahun kemudian mereka bersepakat ke jenjang pernikahan. Dari pernikahan ini mereka dikaruniai seorang putri, Andi Dian Indria Sukmawaty.

Sampai hari tuanya, mantan pimpinan Universitas Terbuka di Makassar ini tinggal bersama istrinya yang meninggal lebih dahulu, di kompleks perumahan dosen Universitas Hasanuddin Baraya, Makassar. Dia ditemani Fauziah, cucu pertama dari anak tunggalnya. ►e-ti

sumber: http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/andi-abdul-muis/index.shtml

0 komentar:

Posting Komentar