PROPAGANDA POLITIK MELALUI MEDIA MASSA
Propaganda : Sebagai Pendekatan Persuasi Politik
Konseptualisasi
Menurut Dan Nimmo (1993), ada tiga pendekatan kepada persuasi politik, yakni propaganda, periklanan dan retorika. Semuanya serupa dalam beberapa hal yakni bertujuan (purposif), disengaja (intensional) dan melibatkan pengaruh; terdiri atas hubungan timbal balik antara orang-orang dan semuanya menghasilkan berbagai tingkat perubahan dalam persepsi, kepercayaan, nilai dan pengharapan pribadi. Tentu saja ketiganya juga memiliki kekhususan yang membedakan satu dengan lainnya.
Banyak ahli mendefinisikan persuasi, salah satunya adalah Erwin P. Bettinghaus (1973). Menurut dia, persuasi tidak lain adalah usaha yang disadari untuk mengubah sikap, kepercayaan atau prilaku orang melalui transmisi pesan. Bisa saja, banyak definisi yang dikemukakan, tapi diantara karakteristik umumnya persuasi selalu melibatkan tujuan melalui pembicaraan. Sifatnya juga dialektis dan merupakan proses timbal balik. Dalam hal ini dengan sengaja atau tidak menimbulkan perasaan responsif pada orang lain. Selain dia juga bercirikan kemungkinan.
Dari ketiga pendekatan persuasi seperti disebut diatas, propaganda memiliki catatan konseptual dan histroris yang menarik untuk diamati. Menurut Jacques Ellul (dalam Dan Nimmo, 1993), propaganda sebagai komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu, dipersatukan secara psikologis melalui manipulasi psikologis dan digabungkan di dalam suatu organisasi.
Istilah propaganda ini dapat ditelusuri hingga masa Paus Gregorius XV yang membentuk suatu komisi para kardinal, Cengregatio de propaganda Fide, untuk menumbuhkan keimanan kristiani diantara bangsa-bangsa lain. Namun pada perkembangannya propaganda meluas ke wilayah politik, yakni diperuntukan untuk memperoleh pengaruh dan pada akhirnya kekuasaan. Praktek propaganda misalnya pernah dilakukan Partai Nazi, Hitler. Dengan manipulasi lambang, dan oratori yang penuh emosi Hitler membangkitkan rasa identifikasi, komitmen dan kesetiaan khalayak. Kata-kata yang sangat populer waktu itu “Ein Volk, ein Reich,ein Fuhrer” (satu bangsa, satu imperium, satu pemimpin).
Ellul membuat tipologi propaganda yang menarik. Menurutnya, ada tipe propaganda politik dan tipe propaganda sosiologi. Yang pertama, beroperasi melalui imbauan-imbauan khas berjangka pendek. Biasanya melibatkan usaha-usaha pemerintah, partai atau golongan berpengaruh untuk mencapai tujuan strategis atau taktis. Sementara yang kedua, tipenya berangsur-angsur, merembes ke dalam lembaga-lembaga ekonomi, sosial dan politik. Melalui propaganda orang disuntik dengan suatu cara hidup atau ideologi. Hasilnya, suatu konsepsi umum tentang masyarakat yang dengan setia dipatuhi oleh setiap orang kecuali beberapa orang yang dianggap sebagai “penyimpang (deviants)”.
Berkaitan dengan konsepsi ini dikenal adanya propaganda agitasi dan propaganda integrasi. Agitasi berusaha agar orang-orang bersedia memberikan pengorbanan yang besar bagi tujuan yang langsung, mengorbankan jiwa mereka dalam usaha mewujudkan cita-cita dalam tahap-tahap yang merupakan suatu rangkaian. Sementara integrasi menggalang kesesuaian di dalam mengejar tujuan-tujuan jangka panjang. Melalui propaganda ini orang-orang mengabdikan diri kepada tujuan-tujuan yang mungkin tidak akan terwujud dalam waktu bertahun-tahun.
Propaganda Vertikal : Satu-Kepada-Banyak
Propaganda dalam realitasnya mengambil bentuk vertikal dan horizontal. Bentuk yang pertama adalah representasi propaganda satu-kepada-banyak (one-to-many). Sementara propaganda horizontal bekerja lebih di antara keanggotaan kelompok ketimbang dari pemimpin kepada kelompok. Artinya yang kedua lebih banyak menggunakan komunikasi interpersonal dan komunikasi organisasi, ketimbang melalui komunikasi massa.
Kalau dulu komunikasi satu-kepada-banyak mungkin diwakili oleh propagandis-propagandis lewat pidato-pidato keliling di depan kumpulan partisan mereka, tapi sekarang hal ini lebih sering dilakukan melalui media massa.
Ada beberapa hal pokok yang biasa dilakukan dalam propaganda. Dalam bukunya Dan Nimmo (1993) mengulas ada 7 teknik propaganda penting yang memanfaatkan kombinasi kata, tindakan dan logika untuk tujuan persuasif. Pertama, name calling, memberi label buruk kepada gagasan, orang, objek atau tujuan agar orang menolak sesuatu tanpa menguji kenyataannya. Misalnya menuduh lawan pemilihan sebagai “penjahat”. Kedua, glittering generalities, menggunakan “kata yang baik” untuk melukiskan sesuatu agar mendapat dukungan, lagi-lagi tanpa menyelidiki ketepatan asosiasi itu. Misal AS menyebut operasi mereka ke Afghanistan beberapa waktu lalu sebagai “Operasi Keadilan Tak Terhingga”, dengan misi “hukum tanpa batas” begitu juga saat merencanakan serangan ke Irak, AS menyebutnya sebagai misi kemanusiaan untuk membebaskan manusia dari teror senjata pemusnah massal.
Ketiga, transfer, yakni mengidentifikasi suatu maksud dengan lambang autoritas, misalnya “pilih kembali Mega di Pemilu 2004”. Keempat, testimonial, memperoleh ucapan orang yang dihormati atau dibenci untuk mempromosikan atau meremehkan suatu maksud. Kita mengenalnya dalam dukungan politik oleh surat kabar , tokoh terkenal dll. Kelima, plain folks, imbauan yang mengatakan bahwa pembicara berpihak kepada khalayaknya dalam usaha bersama yang kolaboratif. Misalnya, “saya salah seorang dari anda, hanya rakyat biasa”. Keenam, card stacking, memilih dengan teliti pernyataan yang akurat dan tidak akurat, logis dan tak logis dan sebagainya untuk membangun suatu kasus. Misalnya kata-kata “pembunuhan terhadap pemimpin kita, benar-benar menunjukan penghinaan terhadap partai kita !”. Ketujuh, bandwagon, usaha untuk meyakinkan khalayak akan kepopuleran dan kebenaran tujuan sehingga setiap orang akan “turut naik”.
Prinsip satu-kepada-banyak yang menjadi pegangan propaganda, semakin menemukan momentumnya seiring dengan berkembangnya media massa. Orde Baru misalnya, secara terus menerus memanfaatkan TVRI sebagai ideological state aparatus. Dengan mengusung propaganda “pembangunan”, dalam waktu yang relatif lama mampu bertahan melakukan korporasi terhadap hampir segenap lapisan masyarakat. Persuasi model ini terus dilakukan sehingga rakyat mengidentifikasikan diri menjadi bagian dari anggota Orde Baru.
< span/>
Konseptualisasi
Menurut Dan Nimmo (1993), ada tiga pendekatan kepada persuasi politik, yakni propaganda, periklanan dan retorika. Semuanya serupa dalam beberapa hal yakni bertujuan (purposif), disengaja (intensional) dan melibatkan pengaruh; terdiri atas hubungan timbal balik antara orang-orang dan semuanya menghasilkan berbagai tingkat perubahan dalam persepsi, kepercayaan, nilai dan pengharapan pribadi. Tentu saja ketiganya juga memiliki kekhususan yang membedakan satu dengan lainnya.
Banyak ahli mendefinisikan persuasi, salah satunya adalah Erwin P. Bettinghaus (1973). Menurut dia, persuasi tidak lain adalah usaha yang disadari untuk mengubah sikap, kepercayaan atau prilaku orang melalui transmisi pesan. Bisa saja, banyak definisi yang dikemukakan, tapi diantara karakteristik umumnya persuasi selalu melibatkan tujuan melalui pembicaraan. Sifatnya juga dialektis dan merupakan proses timbal balik. Dalam hal ini dengan sengaja atau tidak menimbulkan perasaan responsif pada orang lain. Selain dia juga bercirikan kemungkinan.
Dari ketiga pendekatan persuasi seperti disebut diatas, propaganda memiliki catatan konseptual dan histroris yang menarik untuk diamati. Menurut Jacques Ellul (dalam Dan Nimmo, 1993), propaganda sebagai komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu, dipersatukan secara psikologis melalui manipulasi psikologis dan digabungkan di dalam suatu organisasi.
Istilah propaganda ini dapat ditelusuri hingga masa Paus Gregorius XV yang membentuk suatu komisi para kardinal, Cengregatio de propaganda Fide, untuk menumbuhkan keimanan kristiani diantara bangsa-bangsa lain. Namun pada perkembangannya propaganda meluas ke wilayah politik, yakni diperuntukan untuk memperoleh pengaruh dan pada akhirnya kekuasaan. Praktek propaganda misalnya pernah dilakukan Partai Nazi, Hitler. Dengan manipulasi lambang, dan oratori yang penuh emosi Hitler membangkitkan rasa identifikasi, komitmen dan kesetiaan khalayak. Kata-kata yang sangat populer waktu itu “Ein Volk, ein Reich,ein Fuhrer” (satu bangsa, satu imperium, satu pemimpin).
Ellul membuat tipologi propaganda yang menarik. Menurutnya, ada tipe propaganda politik dan tipe propaganda sosiologi. Yang pertama, beroperasi melalui imbauan-imbauan khas berjangka pendek. Biasanya melibatkan usaha-usaha pemerintah, partai atau golongan berpengaruh untuk mencapai tujuan strategis atau taktis. Sementara yang kedua, tipenya berangsur-angsur, merembes ke dalam lembaga-lembaga ekonomi, sosial dan politik. Melalui propaganda orang disuntik dengan suatu cara hidup atau ideologi. Hasilnya, suatu konsepsi umum tentang masyarakat yang dengan setia dipatuhi oleh setiap orang kecuali beberapa orang yang dianggap sebagai “penyimpang (deviants)”.
Berkaitan dengan konsepsi ini dikenal adanya propaganda agitasi dan propaganda integrasi. Agitasi berusaha agar orang-orang bersedia memberikan pengorbanan yang besar bagi tujuan yang langsung, mengorbankan jiwa mereka dalam usaha mewujudkan cita-cita dalam tahap-tahap yang merupakan suatu rangkaian. Sementara integrasi menggalang kesesuaian di dalam mengejar tujuan-tujuan jangka panjang. Melalui propaganda ini orang-orang mengabdikan diri kepada tujuan-tujuan yang mungkin tidak akan terwujud dalam waktu bertahun-tahun.
Propaganda Vertikal : Satu-Kepada-Banyak
Propaganda dalam realitasnya mengambil bentuk vertikal dan horizontal. Bentuk yang pertama adalah representasi propaganda satu-kepada-banyak (one-to-many). Sementara propaganda horizontal bekerja lebih di antara keanggotaan kelompok ketimbang dari pemimpin kepada kelompok. Artinya yang kedua lebih banyak menggunakan komunikasi interpersonal dan komunikasi organisasi, ketimbang melalui komunikasi massa.
Kalau dulu komunikasi satu-kepada-banyak mungkin diwakili oleh propagandis-propagandis lewat pidato-pidato keliling di depan kumpulan partisan mereka, tapi sekarang hal ini lebih sering dilakukan melalui media massa.
Ada beberapa hal pokok yang biasa dilakukan dalam propaganda. Dalam bukunya Dan Nimmo (1993) mengulas ada 7 teknik propaganda penting yang memanfaatkan kombinasi kata, tindakan dan logika untuk tujuan persuasif. Pertama, name calling, memberi label buruk kepada gagasan, orang, objek atau tujuan agar orang menolak sesuatu tanpa menguji kenyataannya. Misalnya menuduh lawan pemilihan sebagai “penjahat”. Kedua, glittering generalities, menggunakan “kata yang baik” untuk melukiskan sesuatu agar mendapat dukungan, lagi-lagi tanpa menyelidiki ketepatan asosiasi itu. Misal AS menyebut operasi mereka ke Afghanistan beberapa waktu lalu sebagai “Operasi Keadilan Tak Terhingga”, dengan misi “hukum tanpa batas” begitu juga saat merencanakan serangan ke Irak, AS menyebutnya sebagai misi kemanusiaan untuk membebaskan manusia dari teror senjata pemusnah massal.
Ketiga, transfer, yakni mengidentifikasi suatu maksud dengan lambang autoritas, misalnya “pilih kembali Mega di Pemilu 2004”. Keempat, testimonial, memperoleh ucapan orang yang dihormati atau dibenci untuk mempromosikan atau meremehkan suatu maksud. Kita mengenalnya dalam dukungan politik oleh surat kabar , tokoh terkenal dll. Kelima, plain folks, imbauan yang mengatakan bahwa pembicara berpihak kepada khalayaknya dalam usaha bersama yang kolaboratif. Misalnya, “saya salah seorang dari anda, hanya rakyat biasa”. Keenam, card stacking, memilih dengan teliti pernyataan yang akurat dan tidak akurat, logis dan tak logis dan sebagainya untuk membangun suatu kasus. Misalnya kata-kata “pembunuhan terhadap pemimpin kita, benar-benar menunjukan penghinaan terhadap partai kita !”. Ketujuh, bandwagon, usaha untuk meyakinkan khalayak akan kepopuleran dan kebenaran tujuan sehingga setiap orang akan “turut naik”.
Prinsip satu-kepada-banyak yang menjadi pegangan propaganda, semakin menemukan momentumnya seiring dengan berkembangnya media massa. Orde Baru misalnya, secara terus menerus memanfaatkan TVRI sebagai ideological state aparatus. Dengan mengusung propaganda “pembangunan”, dalam waktu yang relatif lama mampu bertahan melakukan korporasi terhadap hampir segenap lapisan masyarakat. Persuasi model ini terus dilakukan sehingga rakyat mengidentifikasikan diri menjadi bagian dari anggota Orde Baru.
< span/>
0 komentar:
Posting Komentar