Politik Media
Oleh: La Taya (Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP_UNHALU)
Politik media merupakan sebuah sistem politik, politisi secara individual dapat terus menambah ruang privat dan publiknya, sehingga mereka tetap dapat mengurusi masalah politik ketika ia tengah duduk di kursi kerjanya, yaitu melalui komunikasi yang bisa menjangkau masyarakat sasarannya melalui media massa.
Hal ini berarti politisi media berdiri berlawanan dengan sistem yang lebih dulu ada, yakni politik partai. Dalam pengertian konvensional, politisi berupaya untuk memenangkan pemilihan umum dan dapat memerintah sebagai anggota tim partai.
Dengan cara ini politik partai menjadi usang, tetapi sistem ini sekarang menjadi hal yang setidaknya menjadi praktik politik yang umum dengan berbagi panggung politik dengan politik media, sebagai sebuah sistem yang sedang menggejala dengan muatan-muatannya yang mulai dapat dipahami.
Politik media merupakan sebuah sistem politik, istilah ini untuk membandingkannya dengan sistem-sistem lainnya, seperti politik legislatif, politik birokrasi, politik yudisial, serta yang telah dibahas sekilas, politik partai. Dalam setiap domain tersebut, dapat diidentifikasi peran kunci, kepentingan yang bermacam-macam, aturan perilaku yang rutin, serta politik interaksi yang mapan, bila digabungkan dapat memperjelas bentuk khusus dari perjuangan politik.
Terdapat tiga pelaku dalam politik media, ialah politisi, jurnalis, dan orang -orang yang digerakkan oleh dorongan (kepentingan) khusus. Bagi politisi, tujuan dari politik media adalah dapat menggunakan komunitas massa untuk memobilisasi dukungan publik yang mereka perlukan untuk memenangkan pemilihan umum dan memainkan program mereka ketika duduk di ruangan kerja. Bagi jurnalis, tujuan politik media adalah untuk membuat tulisan yang menarik perhatian banyak orang dan menekankan apa yang disebutnya dengan “suara yang independen dan signifikan dari para jurnalis”. Bagi masyarakat, tujuannya adalah untuk keperluan mengawasi politik dan menjaga politisi agar tetap akuntabel, dengan menggunakan basis usaha yang minimal. Tujuan tersebut merupakan sumber ketegangan konstan yang ada di ketiga aktor.
Politisi menghendaki para jurnalis untuk bertindak sebagai pembawa berita yang netral dalam statemen mereka dan dalam rilis pers. Sementara para jurnalis tidak ingin menjadi tangan kanan pihak lain; mereka lebih berharap untuk bisa membuat kontribusi jurnalistik khusus untuk berita, dimana mereka dapat menyempurnakannya dengan menggunakan berita terkini, inves tigasi, dan analisis berita yang sangat dibenci oleh kalangan politisi. Masih dalam catatan saya tentang politik media, jurnalis menilai “suara jurnalistik”, paling tidak, sama besarnya dengan para pembaca dalam jumlah besar, dan para jurnalis ini sama sek ali tidak ingin membantu politisi untuk menerbitkan berita mereka kepada publik. Jika jurnalis selalu saja melaporkan berita yang dikehendaki politisi, atau hanya melaporkan berita politik yang sesuai dengan keinginan pembaca, maka jurnalisme hanya akan me njadi profesi yang kurang menguntungkan dan kurang memuaskan bagi praktisinya, atau bahkan bukan lagi menjadi sebuah profesi.
Pada dasarnya pihak publik menginginkan untuk mengawasi jalannya politik dan menjaga agar politisi tetap akuntabel dengan upaya yang minimal. Dan dikarenakan adanya kejenuhan pihak politisi dan para jurnalis yang bersaing untuk mendapatkan perhatian publik dalam pasar yang kompetitif, publik cenderung mendapatkan bentuk komunikasi politik yang mereka inginkan. Namun ini tidak berlaku seluruhnya. Kepentingan yang telah melekat pada diri politisi untuk mengontrol muatan berita politik, berpadu dengan kepentingan jurnalis untuk membuat kontribusi yang independen dalam berita, akan menciptakan ketegangan dan distorsi yang cukup besar.
0 komentar:
Posting Komentar