Jurnalisme Investigatif
Oleh La Taya (Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP_UNHALU)
Pengertian Jurnalisme Investigasi
Secara umum, dari berbagai definisi yang ada, investigasi bisa diartikan sebagai: “Upaya pencarian dan pengumpulan data, informasi dan temuan lainnya untuk mengetahui kebenaran atau bahkan kesalahan sebuah fakta.
Melakukan kegiatan investigatif sebenarnya jauh dari sekedar mengumpulkan ribuan data atau temuan di lapangan, kemudian menyusun berbagai informasi yang berakhir dengan kesimpulan atas rangkaian temuan dan susunan kejadian”.
Jadi secara garis besar, jurnalisme investigatif adalah sebuah metode peliputan untuk menyibak kebenaran kasus atau peristiwa. Arismunandar (2008) mengatakan bahwa secara sederhana, peliputan investigatif adalah praktik jurnalisme, yang menggunakan metode investigasi dalam mencari informasi. Karakter dari berita investigatif adalah: (1) merupakan produk kerja asli jurnalis bersangkutan, bukan hasil investigasi dari sebuah instansi pemerintah atau nonpemerintah; (2) mengandung informasi yang tidak akan terungkap tanpa usaha si jurnalis; dan (3) berkaitan dengan kepentingan publik.
Karakterisitik Reportase Investigasi
Joseph Pulitzer, menurut Mitchell V. Charnley, menyatakan ada dua hal yang signifikan mendasari reportase investigatif: jurnalisme harus membawa muatan pelayanan “pencerahan” (enlightened) publik dan seringkali juga kegiatan fighting reporting (reportase perlawanan). Kerja peliputan junrlistik macam ini dimotivasi oleh “semangat, keterampilan, keberanian, dan imajinasi”. Kerja peliputannya tidak hanya puas dengan “berita yang (dapat) dilihat” akan tetapi menyangkut pula “kemendalaman penggalian” dan agresivitas serta kerap “berbahaya/berisiko tinggi” terhadap fakta-fakta yang tersembunyi.
Jurnalisme investigatif memang berbeda dengan kegiatan junrnalistik pada umumnya. Ada beberapa unsur dari jurnalisme investigatif termasuk mengenal perangkat nilai berita, seperti unsur proksimitas, relevansi, kecepatan, drama, dan lainnya. Para wartawan membuat berita berdasarkan sumber-sumber yang terkait, teragenda, dan menjadi langganan informasi mereka, selain itu mereka juga menyeleksi, apa sumber informasi mereka layak atau tidak, mengandung kebenaran atau tidak.
Ruang Lingkup Jurnalisme Investigasi
Narasi investigator mengkonstruksi kisah keseluruhannya. Ini merupakan upaya merekonstekstualisasi fakta-fakta otoritatif, menyeimbangkan dua sudut pandang yang berlawanan, atau menonjolkan pandangan alternative. Hal itu meliputi narasumber yang menjadi “saksi mata”, figure-figur otoritatif yang terkait dengan permasalahan. Pengerjaannya meliputi kegiatan dokumentari radio, feature televisi, tulisan-tulisan kolom di surat kabar, dan seterusnya.
Kisah Watergate menjadi sampel klasik bagi kegiatan investigatif reporting. Pelbagai tindakan manipulatif seorang presiden dengan kelompoknya, dalam kisah itu telah menyinggung kepentingan masyarakat Amerika. Masyarakat menuntut adanya kebutuhan dan kenyataan untuk tahu. Presiden dan kawan-kawannya telah melakukan upaya untuk menutupi fakt-fakta. Kebenaran telah dibawakan oleh para wartawan atas inisiatif mereka. Tapi apa sebenarnya investigatif reporting itu?
Investigatif reporting menurut Atmakusumah secara harfiah, mengartikan dalam kaitan pekerjaan pers, adalah pelbagai bukti, yang dapat dijadikan fakta, bagi upaya menjelaskan adanya kesalahan atau pelanggaran atau kejahatan yang telah dilakukan oleh seseorang atau pihak-pihak tertentu. Reportese investigatif memang merupakan sebuah kegiatan peliputan yang mencari, menemukan, dan menyampaikan fakta-fakta adanya pelanggaran, kesalahan, atau kejahatan yang merugikan kepentingan umum atau masyarakat.
Dari gambaran ringkas di atas, reportase investigasi oleh Atmakusumah diistilahkan laporan penyidikan, dapat dipahami melalui lima tujuan dan sifat pelaporannya:
- Mengungkapkan kepada masyarakat, informasi yang perlu mereka ketahui karena menyangkut kepentingan atau nasib mereka. Dengan mengetahui informasi itu, masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam mengambil keputusan. Tanpa bantuan laporan penyidikan, informasi itu mungkin tidak dapat mereka ketahui, karena: "pemilik atau “penyimpan” informasi tidak menyadari pentingnya informasi itu; Informasi itu sengaja disembunyikan.
- Laporan penyidikan tidak hanya mengungkapkan hal-hal yang secara operasional tidak sukses, tetapi dapat juga sampai kepada konsep yang keliru.
- Laporan penyidikan itu berisiko tinggi, karena bisa menimbulkan kontroversi dan bahkan kontradiksi dan konflik. Untuk menghasilkan laoran seperti ini, seringkali harus menggali bahan-bahan informasi yang dirahasiakan.
- Karena itu harus jauh-jauh hari dipikirkan akibat-akibat yang dapat ditimbulkannya terhadap: subjek laporannya (dengan menimbang-nimbang akibat negative yang diderita subjek laporan dibandingkan dengan manfaat bagi umum. Penerbitan pers situ sendiri (baik reaksi dari lembaga resmi maupun dari pemasang iklan dan public pembaca).
- Untuk menghadapi dilema ini diperlukan kecintaan dan semangat pengabdian kepada kepentingan masyarakat luas. Pada pokoknya, harus ada idealisme, baik di dalam diri reporter itu sendiri maupun di sektor-sektor lain dalam struktur organisasi penerbitan per situ.
Tahapan Jurnalisme Investigasi Andreas Harsono mengutip ceramah Sheila Coroner, direktur Philippines Center for Investigatif di Filipina yang berdiri pada tahun 1989 seusai tirani Fedinand Marcos berakhir. Coroner datang ke Indonesia dan memberikan ceramah di beberapa kota besar di Indonesia. Coroner menunjukkan bahwa tahapan kegiatan investigasi itu dapat diurut ke dalam dua bagian kerja: bagian pertama merupakan bagian penjajakan dan pekerjaan dasar, sedangkan bagian kedua sudah berupa penajaman dan penyelesaian investigatsi. Pada masing-masing bagiannya terbagi ke dalam tujuh kegiatan rinciannya. Rancangan kegiatan ini, menurut Coronel, merupakan pengaturan sistematika kerja wartawan investigatif agar terurut kepada tahapan-tahapan kerja yang mudah dianalisis.
Bagian pertama
Bagian pertama
- Petunjuk awal (first lead)
- Investigasi pendahuluan (initial investigation)
- Pembentukan hipotesis (forming an investigatif hypothesis)
- Pencarian dan pendalaman literature (literature search)
- Wawancara para pakar dan narasumber ahli (interviewing experts)
- Penjajakan dokumen-dokumen (finding a paper trail)
- Wawancara sumber-sumber kunci dan saksi-saksi (interviewing key informants and sources)
Bagian kedua
- Pengamatan langsung di lapangan (first hand observation)
- Pengorganisasian file (organizing files)
- Wawancara lebih lanjut (more interviews)
- Analisis dan pengorganisasian data (analyzing and organizing data)
- Penulisan (writing)
- Pengecekan fakta (fact checking)Pengecekan pencemaran nama baik.
Strenz menguraikan beberapa kelalaian yang bisa terjadi di dalam sebuah liputan, yang meliputi kedudukan reporter, sumber berita, dan khalayaknya. Beberapa saran dan penjelasannya merupakan factor-faktor yang tampaknya berkaitan dengan kegiatan investigatif reporting, untuk mencegah terjadinya distorsi kebenaran yang hanya sekadar fakta. Beberapa hal perlu diperhatikan itu adalah:
Orang yang berbeda melihat peristiwa atau isu yang sama dengan cara yang berbeda. Sumber yang sama akan melaporkan peristiwa yang sama secara selektif dan berbeda, tergantung kepada khalayaknya.
Bagaimana “fakta-fakta” dilaporkan dan berita dibentuk tergantung pada:
a) Sifat dari proses pengumpula berita,
b) Bagaimana berita dirumuskan,
c) Bagaimana berita dibuat rasional,
d) Bagaimana berita dinilai lebih dulu,
e) Bagaiaman reporter mengatasi tekanan untuk menghasilkan berita yang baik
Spark menunjukkan beberapa konklusi, yang bisa dipergunakan sebagai pedoman, di dalam melaksanakan reportase investigatif:
Orang yang berbeda melihat peristiwa atau isu yang sama dengan cara yang berbeda. Sumber yang sama akan melaporkan peristiwa yang sama secara selektif dan berbeda, tergantung kepada khalayaknya.
Bagaimana “fakta-fakta” dilaporkan dan berita dibentuk tergantung pada:
a) Sifat dari proses pengumpula berita,
b) Bagaimana berita dirumuskan,
c) Bagaimana berita dibuat rasional,
d) Bagaimana berita dinilai lebih dulu,
e) Bagaiaman reporter mengatasi tekanan untuk menghasilkan berita yang baik
Spark menunjukkan beberapa konklusi, yang bisa dipergunakan sebagai pedoman, di dalam melaksanakan reportase investigatif:
- Temukanlah fakta-fakta dari hati sebuah isu, jangan masuk ke dalam komentar para pembicara;
- Mudahkanlah pelbagai konsep yang sulit, jangan terjebak dengan penulisan yang rumit;
- Jangan dipengaruhi oleh pandangan dari narasumber utama, carilah sumber lain dengan sudut pandang yang lain
- Bicaralah ke berbagai orang yang relevan yang harus ditemukan
- Jawablah pertanyaan-pertanyaan secara sederhana dan mudah yang bisa membuka subjek yang hendak diinvestigasi.
- Jangan mengambil segala sesuatu dan segala orang melalui nilai-nilai mereka.
- Ingatlah bahwa setiap orang, setiap organisasi dan setiap kejadian memiliki sejarah, yang mempengaruhi peristiwa itu terjadi.
Tantangan Jurnalisme Investigasi
Menurut Wina Armada (1993), laporan invesigasi di Indonesia belum menjadi suatu tradisi yang melembaga di tubuh pers pada tahun 1990-an. Laporan investigasi belum memiliki dampak luas dan menonjol. Pekerja pers Indonesia masih mengerjakan investigasi, sebagai sebuah pendekatan, yang bersifat temporer, kadang-kadang dan masih dapat dihitung jari. Armada mengajukan beberapa sebab yang menghambat kegiatan peliputan investigatif, yakni pers Indonesia masih menilai laporan investigatif adalah laporan yang memakai “biaya tinggi”. Proses liputannya menghabiskan “waktu” yang amat panjang. Hasil akhir (output) yang “tidak pasti” memberikan halangan juga kepada gairah wartawan Indonesia. Ditambah lagi “risiko besar” yang bisa timbul akibat peliputannya. Dan, persyaratan “modal kuat, keuletan dan kesabaran” yang harus dimiliki seorang wartawan investigatif Indonesia belum mendapat tempat di kalangan pers saat itu.
Dalam amatan Andreas Harsono, dekade 1990-an merupakan fase beberapa majalah mulai secara eksplisit memakai istilah “investigasi” pada beberapa liputannya. Ketika terbit tahun 1996, dwi-mingguan Tajuk menyatakan dirinya sebagai majalah “berita, investigasi dan entertaimen. Penerbitan kembali majalah Tempo, 6 Oktober 1998, seusai dibredel, membuat sebuah rubric dengan nama “investigasi”. Tempo membuka lembaran baru penerbitannya (6 – 12 Okotober 1998, “Pemerkosaan: Cerita dan Fakta”) dengan laporan investigasi mengenai pemerkosaan keturunan Cina pada saat huru-hara Mei 1998.
Menurut Wina Armada (1993), laporan invesigasi di Indonesia belum menjadi suatu tradisi yang melembaga di tubuh pers pada tahun 1990-an. Laporan investigasi belum memiliki dampak luas dan menonjol. Pekerja pers Indonesia masih mengerjakan investigasi, sebagai sebuah pendekatan, yang bersifat temporer, kadang-kadang dan masih dapat dihitung jari. Armada mengajukan beberapa sebab yang menghambat kegiatan peliputan investigatif, yakni pers Indonesia masih menilai laporan investigatif adalah laporan yang memakai “biaya tinggi”. Proses liputannya menghabiskan “waktu” yang amat panjang. Hasil akhir (output) yang “tidak pasti” memberikan halangan juga kepada gairah wartawan Indonesia. Ditambah lagi “risiko besar” yang bisa timbul akibat peliputannya. Dan, persyaratan “modal kuat, keuletan dan kesabaran” yang harus dimiliki seorang wartawan investigatif Indonesia belum mendapat tempat di kalangan pers saat itu.
Dalam amatan Andreas Harsono, dekade 1990-an merupakan fase beberapa majalah mulai secara eksplisit memakai istilah “investigasi” pada beberapa liputannya. Ketika terbit tahun 1996, dwi-mingguan Tajuk menyatakan dirinya sebagai majalah “berita, investigasi dan entertaimen. Penerbitan kembali majalah Tempo, 6 Oktober 1998, seusai dibredel, membuat sebuah rubric dengan nama “investigasi”. Tempo membuka lembaran baru penerbitannya (6 – 12 Okotober 1998, “Pemerkosaan: Cerita dan Fakta”) dengan laporan investigasi mengenai pemerkosaan keturunan Cina pada saat huru-hara Mei 1998.
Jurnalisme Investigasi di Indonesia
Pelaksanaan jurnalisme investigatif di Indonesia dipengaruhi antara lain oleh sistem politik “keterbukaan dan kemerdekaan pers”. Di negeri ini semuanya terkait dengan sikap penguasa dalam menerapkan kebijakan tentang kebebasan pers. Tidak mengherankan jika media massa Indonesia memberikan gambaran fluktuatif mengenai pemberitaan investigasi. Masalah korupsi yang sudah turun temurun terjadi sejak negara ini merdeka, dapat dilaporkan pers dalam dua gerakan, yaitu “sangat takut” atau “sangat berani”. Hal ini terjadi akibat bergantung pada kondisi politik yang ada. Kegiatan investigasi pers Indonesia ditakut-takuti tindakan pembredelan penguasa. Namun ditengah-tengah tindakan represif penguasa yang besar, masih ada bagian pers yang mengerjakan jurnalisme investigasi. Kasus megakorupsi pertamian pada 1974-1975 dilaporkan oleh surat kabar Indonesia Raya dan majalah Tempo.
Di Indonesia, harian Indonesia Raya merupakan salah satu media di Indonesia yang banyak dinilai fenomenal di dalam pelaporan investigasi. Visi jurnalisme yang dibangun mengambil konsep advocacy journalism. Sebuah aliran new journalism yang berkembang di Amerika Serikat tahun 1960-an. Format advocacy dipakai untuk satu gaya jurnalistik yang teguh dalam pendiriannya untuk suatu “perbaikan keadaan”. Selain itu, harian ini juga bersifat muckraking paper, yaitu surat kabar yang melakukan penyidikan mengenai kasus korupsi atau tuduhan korupsi oleh pejabat pemerintah atau pengusaha dan menyiarkannya dengan gegap gempita.
Harian Indonesia Raya (1949-1958 dan 1968-1974) bisa dikatakan tipikal awal penerbitan pers yang mengarahkan liputannya ke dalam bentuk investigasi. Pada periode pertama penerbitan (1949-1958), harian ini memiliki visi investigatif untuk melawan kekuasaan yang dianggap bertanggung jawab atas semua keburukan yang terdapat dalam masyarakat. Sedangkan pada periode kedua (1968-1974) harian ini menyoroti kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan kekauasaan dalam perspektif peristiwa kemasyarakatan.
Pengaruh tiga dekade kekuasaan Orde Baru yang merepresi kehidupan pers Indonesia, telah menjadikan pengenalan insilah investigasi tidak begitu dikenali secara utuh dalam pedoman peliputan pers Indonesia. Pada awal 1980-an, sebuah buku pegangan jurnalistik hanya memapakan “Laporan Investigatif” sebagai “Sebuah Perkenalan” di salah satu subbagiannya. Investigatif Report disebut sebagai teknik mencari dan melaporkan sebuah berita dengan cara pengusutan. Sementara itu, Charnley dalam buku Reporting menyatakan investigasi sebagai “laporan mendalam” dan sekedar teknik pencarian berita, serta menegaskan tentang batasan responsibilitas jurnalis untuk objektif, tidak memihak, dan mengabdi pada kepentingan umum.
Laporan investigasi belum menjadi suatu tradisi yang melembaga di dalam tubuh pers. Pekerja pers Indonesia masih mengerjakan laporan jenis ini sebagai sebuah pendekatan yang bersifat temporer. Terdapat beberapa sebab yang menghambat kegiatan peliputan investigatif oleh insan pers.
Pelaksanaan jurnalisme investigatif di Indonesia dipengaruhi antara lain oleh sistem politik “keterbukaan dan kemerdekaan pers”. Di negeri ini semuanya terkait dengan sikap penguasa dalam menerapkan kebijakan tentang kebebasan pers. Tidak mengherankan jika media massa Indonesia memberikan gambaran fluktuatif mengenai pemberitaan investigasi. Masalah korupsi yang sudah turun temurun terjadi sejak negara ini merdeka, dapat dilaporkan pers dalam dua gerakan, yaitu “sangat takut” atau “sangat berani”. Hal ini terjadi akibat bergantung pada kondisi politik yang ada. Kegiatan investigasi pers Indonesia ditakut-takuti tindakan pembredelan penguasa. Namun ditengah-tengah tindakan represif penguasa yang besar, masih ada bagian pers yang mengerjakan jurnalisme investigasi. Kasus megakorupsi pertamian pada 1974-1975 dilaporkan oleh surat kabar Indonesia Raya dan majalah Tempo.
Di Indonesia, harian Indonesia Raya merupakan salah satu media di Indonesia yang banyak dinilai fenomenal di dalam pelaporan investigasi. Visi jurnalisme yang dibangun mengambil konsep advocacy journalism. Sebuah aliran new journalism yang berkembang di Amerika Serikat tahun 1960-an. Format advocacy dipakai untuk satu gaya jurnalistik yang teguh dalam pendiriannya untuk suatu “perbaikan keadaan”. Selain itu, harian ini juga bersifat muckraking paper, yaitu surat kabar yang melakukan penyidikan mengenai kasus korupsi atau tuduhan korupsi oleh pejabat pemerintah atau pengusaha dan menyiarkannya dengan gegap gempita.
Harian Indonesia Raya (1949-1958 dan 1968-1974) bisa dikatakan tipikal awal penerbitan pers yang mengarahkan liputannya ke dalam bentuk investigasi. Pada periode pertama penerbitan (1949-1958), harian ini memiliki visi investigatif untuk melawan kekuasaan yang dianggap bertanggung jawab atas semua keburukan yang terdapat dalam masyarakat. Sedangkan pada periode kedua (1968-1974) harian ini menyoroti kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan kekauasaan dalam perspektif peristiwa kemasyarakatan.
Pengaruh tiga dekade kekuasaan Orde Baru yang merepresi kehidupan pers Indonesia, telah menjadikan pengenalan insilah investigasi tidak begitu dikenali secara utuh dalam pedoman peliputan pers Indonesia. Pada awal 1980-an, sebuah buku pegangan jurnalistik hanya memapakan “Laporan Investigatif” sebagai “Sebuah Perkenalan” di salah satu subbagiannya. Investigatif Report disebut sebagai teknik mencari dan melaporkan sebuah berita dengan cara pengusutan. Sementara itu, Charnley dalam buku Reporting menyatakan investigasi sebagai “laporan mendalam” dan sekedar teknik pencarian berita, serta menegaskan tentang batasan responsibilitas jurnalis untuk objektif, tidak memihak, dan mengabdi pada kepentingan umum.
Laporan investigasi belum menjadi suatu tradisi yang melembaga di dalam tubuh pers. Pekerja pers Indonesia masih mengerjakan laporan jenis ini sebagai sebuah pendekatan yang bersifat temporer. Terdapat beberapa sebab yang menghambat kegiatan peliputan investigatif oleh insan pers.
0 komentar:
Posting Komentar