Arus Balik Komunikasi Politik
POLITIK itu politik. Politik bukan teori, tetapi praktik. Karena itu seluhur apa pun teori politik, di lapangan pelaksanaannya sering menjadi lain. Praktik politik acapkali berbeda jauh, bahkan bertentangan, dengan teori politik. Di lapangan, politik mengajarkan dan membentuk sikap serta perilaku berorientasi kekuasaan. Ini bisa dimengerti, karena pragmatisme politik, umunnya berada dalam bingkai kekuasaan. Baik untuk mempertahankan kekuasaan, atau guna merebut kekuasaan.
Demikian pula dengan komunikasi politik. Berbagai temuan, sebagaimana diuraikan Dan Nimmo, George N Gordon, James Carey, Marshall McLuhan, Jalaluddin Rakhmat, dan pakar komunikasi politik lain dalam berbagai karya ilmiah mereka, terlalu lancang atau tergesa-gesa untuk meyakini bahwa komunikasi politik adalah bentuk praktis dari komunikasi strategis, persuasif dan efektif, guna memengaruhi pemilih (konstituen), terutama dalam konteks pemilu.
Strategis, persuasif, dan efektif atau tidak komunikasi politik, bergantung bukan hanya pada ”siapa, mengatakan apa, kepada siapa dan lewat media mana”, tetapi juga sangat ditentukan oleh sejauhmana saluran komunikasi politik itu dapat memosisikan diri sebagai media interpersonal, di samping berposisi selaku media publik.
Komunikasi politik pernah diungkapkan oleh Johnstone dan kawan-kawan dalam The Newspeople. Johnstone mengatakan, strategi komunikasi yang digunakan untuk mencegah informasi atau mencegah dirinya (sumber informasi) diketahui oleh orang lain, adalah kekhasan komunikasi politik interpersonal, yang terbiasa dimanfaatkan komunikasi politik.
Komunikasi interpersonal sebagai bagian realistis komunikasi politik, membuka peluang ketidaksamaan antara sumber dan destinasi, selain (sebaliknya) empati antara penyampai dan penerima pesan. Ciri-ciri itu sangat memengaruhi komunikasi interpersonal, selain juga dipengaruhi oleh situasi di sekitar wacana, serta kebutuhan psikologis dan kedekatan batin di antara mereka,
Ini berarti, di tingkat kepercayaan publik (sasaran), komunikasi politik kognitif (bermuatan informasi yang berada dalam ranah pengetahuan semata), tidak akan mampu menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap kandidat (misalnya: calon presiden/calon wakil presiden tertentu). Komunikasi kognitif hanya berkemampuan membentuk kesadaran publik, terutama tentang kondisi yang diciptakan sejumlah kandidat.
Hak Demokrasi
Dalam jangka pendek, memang, orang belajar tentang politik lewat komunikasi politik. Melalui komunikasi politik pula, orang mencoba mengenali kandidat yang akan maju dalam perebutan kekuasaan (di Indonesia mutakhir melalui Pemilu Legeslatif dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009). Tetapi, semua itu sebatas pengenalan pribadi dan program yang ditawarkan kandidat.
Dalam jangka yang lebih panjang, kandidat yang berhasil merebut simpati sasaran (konstituen) akan berpeluang ”menguasai” komunikasi politik. Kandidat yang kurang mampu merebut simpati dan dukungan publik, menghadapi lebih banyak kendala penguasaan magnitude (keluasan) komunikasi politik, dibanding rivalnya yang sangat dikenal, apalagi dekat di hati publik.
Itulah salah satu risiko komunikasi politik. Risiko komunikasi politik dimaksud, mengakibatkan terbuka luasnya perbedaan pandangan antara pemerintah (selain anggota TNI dan Polri yang tidak memiliki hak memilih) dan masyarakat, antara negarawan dan politisi, maupun antara sesama elite, dan antar sesama massa pendukung parpol, ketika mereka menjatuhkan pilihan terhadap calon presiden dan wakil presiden.
Arus balik komunikasi politik menjelang Pilpres 2009, mengakses politik tidak bersama (tidak bersamaan pandangan, atau ketidakbersamaan kepentingan) antara sejumlah partai politik pendukung kandidat yang akan maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.
Itu berarti, koalisi antarparpol yang akan mendukung Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati, dan Jusuf Kalla, atau lainnya merupakan perwujudan hak demokrasi warga negara yang diimplementasikan lewat mekanisme partai politik. Karena alasan itu, maka jalinan dan jaringan komunikasi politik Pilpres 2009, idealnya dilandasi oleh 5 (lima) prinsip utama komunikasi politik.
Pertama, fairness dalam arti kejujuran, keadilan, kesetaraan kedudukan, dan tanpa diskriminasi. Kedua, transparancy (keterbukaan) semua kandidat dalam menyampaikan visi dan misi, serta dalam menjanjikan program kerjanya, bila kelak terpilih sebagai Presiden/Wakil Presiden RI 2009-2014. Ketiga, accountablity dalam bentuk pertanggungjawaban kepada publik atas setiap bentuk pelayanan kepada masyarakat.
Keempat, independensi dalam arti setiap kemasan simbol komunikasi politik sang kandidat seharusnya terbebas dari segala ketergantungannya kepentingan pihak mana pun, seperti kepentingan kekuasaan, politik, ekonomi, dan lain-lain, yang pada hari kemudian dapat mengakibatkan politik balas budi sang presiden dan wakil Presiden terpilih.
Kelima, impartiality, dalam arti kandidat benar-benar memberi jaminan ketidakberpihakan mereka kepada kepada apa, siapa dan pihak mana pun kecuali, atau selain, keberpihakan kepada nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kepentingan nasional, melebihi kepentingan kelompok pendukung.
Demokrasi Komunikasi
Praksis komunikasi politik jelang Pilpres 2009 dapat dijamin bersifat demokratis, jika proses komunikasi politik itu sendiri tidak diawali dengan kultur buruk sangka antara sejumlah kandidat yang akan maju selaku capres. Kalau kebiasaan berburuk sangka itu tidak dapat dihilangkan, jangan heran manakala arus balik komunikasi politik tersebut akan berupa rangsangan sikap serta perilaku keras/memaksa di antara pendukung para kandidat itu sendiri.
Padahal, seharusnya, arus komunikasi politik adalah keterwujudan kebersamaan, bukan hanya antara pasangan capres/cawapres yang akan maju, tetapi juga di antara seluruh kelompok pendukung mereka.
Konsisten dengannya, maka komunikasi politik yang semestinya digalang oleh tim sukses semua pasangan capres/cawapres dalam Pilpres 2009, harus benar-benar dilandasi serta diarahkan kepada persamaan atau kebersamaan, di samping perbedaan atau ketidakbersamaan, lewat proses atau mekanisme komunikasi politik yang demokratis. Keduanya dimungkinkan, jika proses dan mekanisme komunikasi politik yang mereka rancang, betul-betul diposisikan dalam disain berbasis hak asasi manusia, sekaligus berlandaskan hak politik warga negara.
Karena itu, negara wajib memberikan jaminan terealisirnya komunikasi politik yang demokratis. Di samping perlunya negara memprediksi kemungkinan arus balik komunikasi politik, yang dapat merusak tatanan persatuan dan kesatuan, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di sinilah arti penting rambu/pembatasan bagi keberlangsungan komunikasi politik, dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI 2009-2014, yang tinggal dua bulang mendatang. Konsekuensinya adalah, komunikasi politik perlu selalu dikaitkan dengan kepentingan penegakan hak asasi manusia, terjaminnya rahasia negara, dan tidak rusaknya berbabagai bentuk kesepakatan antara negara dan warga negara yang telah terjalin jauh hari sebelumnya, terutama mempertahankan Pancasila dan NKRI.
Dari itu, sederas apa pun tuntutan demokrasi komunikasi politik jelang Pilpres 2009, arus baliknya perlu tetap dicegah dari perubahan supremasi hukum ke supremasi kekuasaan, di seluruh pelosok Nusantara. Karenanya, komunikasi politik menjelang Pilpres 2009 bukan sekadar tidak bebas nilai, dan ketat rambu, tetapi juga mengenal fatsun akibat kesadaran dan ketaatan semua pihak yang telibat dalam proses komunikasi politik itu sendiri.
Komunikasi politik sampai dan sesudah 9 Juli mendatang, tidak boleh menghalalkan cara. Termasuk di dalamnya larangan menghujat pihak lain, mempropagandakan kepentingan diri sendiri dan kelompok sendiri, serta secara terang-terangan dan kasar (vulgar) menjatuhkan pihak lain, tanpa mengindahkan norma luhur komunikasi politik itu sendiri.
Demikian pula dengan komunikasi politik. Berbagai temuan, sebagaimana diuraikan Dan Nimmo, George N Gordon, James Carey, Marshall McLuhan, Jalaluddin Rakhmat, dan pakar komunikasi politik lain dalam berbagai karya ilmiah mereka, terlalu lancang atau tergesa-gesa untuk meyakini bahwa komunikasi politik adalah bentuk praktis dari komunikasi strategis, persuasif dan efektif, guna memengaruhi pemilih (konstituen), terutama dalam konteks pemilu.
Strategis, persuasif, dan efektif atau tidak komunikasi politik, bergantung bukan hanya pada ”siapa, mengatakan apa, kepada siapa dan lewat media mana”, tetapi juga sangat ditentukan oleh sejauhmana saluran komunikasi politik itu dapat memosisikan diri sebagai media interpersonal, di samping berposisi selaku media publik.
Komunikasi politik pernah diungkapkan oleh Johnstone dan kawan-kawan dalam The Newspeople. Johnstone mengatakan, strategi komunikasi yang digunakan untuk mencegah informasi atau mencegah dirinya (sumber informasi) diketahui oleh orang lain, adalah kekhasan komunikasi politik interpersonal, yang terbiasa dimanfaatkan komunikasi politik.
Komunikasi interpersonal sebagai bagian realistis komunikasi politik, membuka peluang ketidaksamaan antara sumber dan destinasi, selain (sebaliknya) empati antara penyampai dan penerima pesan. Ciri-ciri itu sangat memengaruhi komunikasi interpersonal, selain juga dipengaruhi oleh situasi di sekitar wacana, serta kebutuhan psikologis dan kedekatan batin di antara mereka,
Ini berarti, di tingkat kepercayaan publik (sasaran), komunikasi politik kognitif (bermuatan informasi yang berada dalam ranah pengetahuan semata), tidak akan mampu menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap kandidat (misalnya: calon presiden/calon wakil presiden tertentu). Komunikasi kognitif hanya berkemampuan membentuk kesadaran publik, terutama tentang kondisi yang diciptakan sejumlah kandidat.
Hak Demokrasi
Dalam jangka pendek, memang, orang belajar tentang politik lewat komunikasi politik. Melalui komunikasi politik pula, orang mencoba mengenali kandidat yang akan maju dalam perebutan kekuasaan (di Indonesia mutakhir melalui Pemilu Legeslatif dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009). Tetapi, semua itu sebatas pengenalan pribadi dan program yang ditawarkan kandidat.
Dalam jangka yang lebih panjang, kandidat yang berhasil merebut simpati sasaran (konstituen) akan berpeluang ”menguasai” komunikasi politik. Kandidat yang kurang mampu merebut simpati dan dukungan publik, menghadapi lebih banyak kendala penguasaan magnitude (keluasan) komunikasi politik, dibanding rivalnya yang sangat dikenal, apalagi dekat di hati publik.
Itulah salah satu risiko komunikasi politik. Risiko komunikasi politik dimaksud, mengakibatkan terbuka luasnya perbedaan pandangan antara pemerintah (selain anggota TNI dan Polri yang tidak memiliki hak memilih) dan masyarakat, antara negarawan dan politisi, maupun antara sesama elite, dan antar sesama massa pendukung parpol, ketika mereka menjatuhkan pilihan terhadap calon presiden dan wakil presiden.
Arus balik komunikasi politik menjelang Pilpres 2009, mengakses politik tidak bersama (tidak bersamaan pandangan, atau ketidakbersamaan kepentingan) antara sejumlah partai politik pendukung kandidat yang akan maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.
Itu berarti, koalisi antarparpol yang akan mendukung Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati, dan Jusuf Kalla, atau lainnya merupakan perwujudan hak demokrasi warga negara yang diimplementasikan lewat mekanisme partai politik. Karena alasan itu, maka jalinan dan jaringan komunikasi politik Pilpres 2009, idealnya dilandasi oleh 5 (lima) prinsip utama komunikasi politik.
Pertama, fairness dalam arti kejujuran, keadilan, kesetaraan kedudukan, dan tanpa diskriminasi. Kedua, transparancy (keterbukaan) semua kandidat dalam menyampaikan visi dan misi, serta dalam menjanjikan program kerjanya, bila kelak terpilih sebagai Presiden/Wakil Presiden RI 2009-2014. Ketiga, accountablity dalam bentuk pertanggungjawaban kepada publik atas setiap bentuk pelayanan kepada masyarakat.
Keempat, independensi dalam arti setiap kemasan simbol komunikasi politik sang kandidat seharusnya terbebas dari segala ketergantungannya kepentingan pihak mana pun, seperti kepentingan kekuasaan, politik, ekonomi, dan lain-lain, yang pada hari kemudian dapat mengakibatkan politik balas budi sang presiden dan wakil Presiden terpilih.
Kelima, impartiality, dalam arti kandidat benar-benar memberi jaminan ketidakberpihakan mereka kepada kepada apa, siapa dan pihak mana pun kecuali, atau selain, keberpihakan kepada nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kepentingan nasional, melebihi kepentingan kelompok pendukung.
Demokrasi Komunikasi
Praksis komunikasi politik jelang Pilpres 2009 dapat dijamin bersifat demokratis, jika proses komunikasi politik itu sendiri tidak diawali dengan kultur buruk sangka antara sejumlah kandidat yang akan maju selaku capres. Kalau kebiasaan berburuk sangka itu tidak dapat dihilangkan, jangan heran manakala arus balik komunikasi politik tersebut akan berupa rangsangan sikap serta perilaku keras/memaksa di antara pendukung para kandidat itu sendiri.
Padahal, seharusnya, arus komunikasi politik adalah keterwujudan kebersamaan, bukan hanya antara pasangan capres/cawapres yang akan maju, tetapi juga di antara seluruh kelompok pendukung mereka.
Konsisten dengannya, maka komunikasi politik yang semestinya digalang oleh tim sukses semua pasangan capres/cawapres dalam Pilpres 2009, harus benar-benar dilandasi serta diarahkan kepada persamaan atau kebersamaan, di samping perbedaan atau ketidakbersamaan, lewat proses atau mekanisme komunikasi politik yang demokratis. Keduanya dimungkinkan, jika proses dan mekanisme komunikasi politik yang mereka rancang, betul-betul diposisikan dalam disain berbasis hak asasi manusia, sekaligus berlandaskan hak politik warga negara.
Karena itu, negara wajib memberikan jaminan terealisirnya komunikasi politik yang demokratis. Di samping perlunya negara memprediksi kemungkinan arus balik komunikasi politik, yang dapat merusak tatanan persatuan dan kesatuan, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di sinilah arti penting rambu/pembatasan bagi keberlangsungan komunikasi politik, dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI 2009-2014, yang tinggal dua bulang mendatang. Konsekuensinya adalah, komunikasi politik perlu selalu dikaitkan dengan kepentingan penegakan hak asasi manusia, terjaminnya rahasia negara, dan tidak rusaknya berbabagai bentuk kesepakatan antara negara dan warga negara yang telah terjalin jauh hari sebelumnya, terutama mempertahankan Pancasila dan NKRI.
Dari itu, sederas apa pun tuntutan demokrasi komunikasi politik jelang Pilpres 2009, arus baliknya perlu tetap dicegah dari perubahan supremasi hukum ke supremasi kekuasaan, di seluruh pelosok Nusantara. Karenanya, komunikasi politik menjelang Pilpres 2009 bukan sekadar tidak bebas nilai, dan ketat rambu, tetapi juga mengenal fatsun akibat kesadaran dan ketaatan semua pihak yang telibat dalam proses komunikasi politik itu sendiri.
Komunikasi politik sampai dan sesudah 9 Juli mendatang, tidak boleh menghalalkan cara. Termasuk di dalamnya larangan menghujat pihak lain, mempropagandakan kepentingan diri sendiri dan kelompok sendiri, serta secara terang-terangan dan kasar (vulgar) menjatuhkan pihak lain, tanpa mengindahkan norma luhur komunikasi politik itu sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar